Lazada Indonesia
Yang Paling Baru

Cara Mengenal Gejala Alergi, Tips Pencegahan dan Penanganannya


Dalam Nutritalk kali ini, Sarihusada mengundang Pakar di bidang saluran pencernaan makanan dan nutrisi anak dari Vrije Universiteit Brussel Belgia, Prof Yvan Vandenplas. Menurut Vandenplas, susu sapi merupakan salah satu makanan sumber protein untuk mendukung optimalisasi tumbuh kembang anak. Namun, pada sebagian anak, asupan susu sapi bisa memicu reaksi abnormal karena interaksi antara satu atau lebih protein susu sapi dengan mekanisme kekebalan tubuh.

Reaksi abnormal tersebut disebut alergi protein susu sapi. Reaksi abnormal tersebut bisa mengakibatkan dampak yang bersifat jangka panjang pada kehidupan anak. Sejumlah penelitian menunjukkan, sebagian anak yang alergi protein susu sapi berpotensi mengalami gagal tumbuh.

Alergi protein susu sapi pada anak terbukti dapat mengganggu optimalisasi tumbuh kembang dan memberi dampak jangka panjang terhadap tingkat kesehatan ketika dewasa. Sayangnya, alergi protein susu sapi ini tidak memilikii gejala yang spesifik. “Karena tidak adanya gejala yang spesifik, kurangnya pengetahuan, dan jarang dilakukan tes alergi, kesulitan deteksi kasus alergi protein susu sapi merupakan hal yang sering terjadi,” kata Vandenplas.

Ia mengatakan, prevalensi anak di dunia yang menderita alergi semakin meningkat karena berbagai penyebab. Sebuah penelitian di Amerika Serikat (AS) oleh Robbins KA pada 2014 yang dilakukan terhadap 6.189 anak berusia 2-17 tahun menunjukkan, secara signifikan anak-anak yang memiliki alergi makanan dengan sejarah alergi susu sapi memiliki rata-rata tinggi badan, berat badan, dan indeks massa tubuh rendah dibandingkan anak dengan alergi makanan tanpa sejarah alergi susu sapi.

Presiden Direktur PT Sarihusada Generasi Mahardika, Olivier Pierredon dalam sambutannya di acara Nutritalk 'Nutrisi Awal Kehidupan untuk Atasi Dampak Jangka Panjang Alergi Pada Anak' di Jakarta menyatakan perusahaan memiliki komitmen tinggi untuk mendukung upaya-upaya pemenuhan gizi bagi anak termasuk mereka yang mengalami kondisi khusus seperti alergi protein susu sapi.

Dan sebagai upaya perusahaan yang mempunyai pabrik di Yogya dan Klaten ini adalah dengan menghadirkan pakar internasional adalah dalam rangka menambah pengetahuan dalam penanganan alergi pada anak-anak Indonesia bukan saja melalui penelitian dan pengembangan produk yang sesuai, tapi juga melalui edukasi yang meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai alergi pada anak.

"Hari ini kami memperkenalkan situs www.kenalialergi.com yang dapat menjadi alat bagi masyarakat mengenai cara mengenal gejala alergi, tips pencegahan dan penanganannya," kata Olivier di Jakarta.

Penelitian lain oleh Santos tahun 2010 memperlihatkan, prevalensi anak yang tetap menderita alergi makanan semakin tinggi di level usia yang hampir sama jika dibandingkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Host pada 1990.

Pada tahun itu diketahui, sebanyak 44 persen anak tetap menderita alergi makanan pada usia satu tahun, 23 persen pada usia dua tahun, dan 13 persen di usia tiga tahun. Sedangkan pada tahun 2010, sebanyak 91 persen anak tetap menderita alergi makanan pada usia satu tahun, 66 persen pada usia dua tahun, 45 persen pada usia lima tahun, dan 32 persen di 10 tahun.

Karena itu, meningkatkan pengenalan dan pengetahuan terhadap gejala alergi susu sapi serta penanganan alergi secara tepat sangat penting untuk menekan dampak jangka panjang. Penanganan yang tepat tersebut, menurut Vandenplas, adalah pemberian nutrisi dengan indikasi yang tepat yang dapat menekan sensitisasi (tingkat alergi) aman, dan dapat memenuhi semua zat gizi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan.

Penelitian oleh Y. Katz pada 2014 menunjukkan prevalensi alergi susu dengan bahan kacang kedelai sangat kecil di antara populasi umum (0,27 persen), populasi khusus (1,9 persen), dan anak-anak penderita elergi (2,7 persen). Prevalensi sensitisasi setelah pemberian susu dengan bahan kacang kedelai juga hanya mencapai 8,7 persen sampai 8,8 persen.

Penelitian Vandenplas di 2014 menunjukkan, meskipun terhadap kandungan tinggi asam fitat dan aluminium pada susu dengan isolat protein kedelai, konsentrasi Hb, protein serum, zinc, dan kalsium serta kandungan mineral tulang pada anak pengonsumsi susu dengan isolat protein kedelai tidak berbeda secara signifikan dengan anak yang tidak mengonsumsinya. Demikian juga halnya pada tingkat imunisasi dan parameter sistem saraf. Tingkat estrogen pada anak yang mengonsumsi susu dengan isolat protein kedelai ditemukan lebih tinggi.

“Penelitian kami ini menyimpulkan, susu dengan isolat protein kedelai menjadi salah satu opsi yang terjangkau dan aman bagi penanganan alergi protein susu sapi. Pola pertumbuhan, kesehatan tulang, dan fungsi metabolisme, fungsi reproduksi, endokrin, imunitas, dan sistem saraf dari anak-anak pengonsumsi susu dengan isolat protein kedelai tidak berbeda secara signifikan dengan anak yang tidak mengonsumsi susu dengan isolat protein kedelai,” katanya.

Sementara, spesialis Anak dari RSCM, Zakiudin Munasir, mengatakan, satu dari 25 anak di Indonesia menderita alergi protein susu sapi dengan gejala paling umum pada pernafasan (51,5 persen) dan kulit (48,7 persen). Sisanya, gejala pada pencernaan 39,3 persen dan gejala-gejala lain seperti pada mata dan susunan saraf pusat atau sakit kepala.

Pengobatan dan pencegahan alergi makanan pada anak dapat dilakukan dengan mengeliminasi makanan alergen dan menggantinya dengan makanan bernilai gizi yang sama, sehingga tidak terjadi malnutrisi.

Susu dengan isolat protein kedelai dapat dijadikan pilihan yang aman dalam penanganan anak dengan alergi protein susu sapi, karena dapat ditoleransi dengan baik. Selain itu, di Indonesia susu kedelai merupakan asupan yang disukai karena rasanya bisa diterima.


tribunnews.com